Jumat, 04 November 2016

Jangan Mudah Percaya Dengan Orang Kafir

Tafsir Al-Qur’an Surat Ali Imran Ayat 118: Jangan Mudah Percaya Dengan 

Orang Kafir

 

 Allah ta’ala berfirman,


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لا يَأْلُونَكُمْ خَبَالا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الآيَاتِ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. Mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. Telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. Sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya.” (QS. Ali Imran[3]: 118)

Tentang sebab turunnya ayat di atas, Ibnu Abbas menjelaskan, “Ada beberapa orang kaum muslimin yang menjalin hubungan dekat dengan beberapa orang Yahudi mengingat mereka adalah tetangga dan orang-orang yang pernah saling bersumpah untuk saling mewarisi di masa jahiliyyah lalu Allah menurunkan ayat yang berisi larangan menjadikan orang-orang Yahudi sebagai teman dekat karena dikhawatirkan menjadi sebab munculnya godaan iman. Ayat yang dimaksudkan adalah ayat di atas.” (Riwayat Ibnu Abi hatim dengan sanad yang hasan).

Dalam ayat ini terkandung larangan keras untuk simpati dan memihak kepada orang-orang kafir, karena yang dimaksud bithonah dalam ayat tersebut adalah orang-orang dekat yang mengetahui berbagai hal yang bersifat rahasia. Bithonah diambil dari kata-kata bathnun yang merupakan kebalikan dari zhahir yang berarti yang nampak. Sedangkan Imam Bukhari mengatakan bahwa yang dimaksud dengan bithonah adalah orang-orang yang sering menemui karena sudah akrab. Kata Ibnu Hajar, penjelasan tersebut merupakan pendapat Abu ‘Ubaidah (Fathul Bari, 13/202, lihat Jami’ Tafsir min Kutub al Ahadits, 1/396)

Tentang makna bithonah, Zamakhsyari mengatakan bahwa bithonah adalah orang kepercayaan dan orang pilihan, tempat untuk menceritakan hal-hal yang pribadi karena merasa percaya dengan orang tersebut (Tafsir al Kasysyaf, 1/406, lihat Tafsir al Qasimi, 2/441 cetakan Darul Hadits Kairo)

Dengan ayat ini, Allah melarang orang-orang yang beriman untuk menjadikan orang-orang kafir baik Yahudi ataupun ahlu ahwa’ (pengekor hawa nafsu, ahli bid’ah) sebagai orang-orang dekat yang menjadi tempat bermusyawarah dan mengadukan permasalahan.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ «الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ يُخَالِلُ»

Dari Abu Hurairah, Nabi bersabda, “Seseorang itu mengikuti agama teman dekatnya.” (HR. Abu Daud, Tirmidzi, Hakim dan dinilai shahih oleh Hakim serta disetujui oleh adz Dzahabi. Demikian juga dinilai shahih oleh an Nawawi, dll)
Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud, beliau mengatakan, “Nilailah seseorang dengan teman dekatnya.”

Setelah itu Allah menjelaskan sebab dilarangnya menjalin kedekatan dengan mereka. Mereka selalu mencurahkan segala daya upaya untuk menyengsarakan kalian. Dengan kata lain, jika mereka tidak memerangi kalian secara terang-terangan maka mereka tidak pernah kenal lelah membuat tipu daya untuk kalian.

Ketika menjelaskan potongan ayat ini, Muqatil bin Hayyan mengatakan, “Mereka hendak menyesatkan kalian sebagaimana mereka telah sesat. Maka Allah melarang orang-orang beriman untuk memasukkan orang-orang munafik dengan meninggalkan orang-orang yang beriman ke dalam rumah atau menjadikan mereka sebagai orang dekat.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang hasan).

Terkait ayat ini, Abu Umamah mengatakan, “Yang Allah maksudkan adalah orang-orang khawarij (orang yang memiliki pemahaman mudah mengafirkan orang lain tanpa alasan yang jelas)”

Diriwayatkan bahwa Abu Musa al ‘Asy’ari mengangkat orang Nasrani sebagai sekretaris beliau maka Khalifah Umar mengirim surat dengan nada kasar lalu mengutip ayat di atas sebagai teguran bagi Abu Musa.

Abu Musa pernah menghadap Khalifah Umar dengan membawa laporan secara tertulis. Setelah disampaikan kepada Khalifah Umar beliau merasa kagum dengan lembaran-lembaran laporan tersebut. Setelah laporan tersebut sampai ke tangan Khalifah Umar, beliau bertanya kepada Abu Musa, “Di manakah juru tulismu? Minta dia supaya membacakannya di hadapan banyak orang.” “Dia tidak masuk ke dalam masjid”, jawab Abu Musa. Khalifah bertanya, “Mengapa? Apakah dia dalam kondisi junub?” Abu Musa berkata, “Bukan, namun karena dia seorang Nasrani.” Mendengar hal tersebut, Khalifah Umar lantas menghardik beliau seraya berkata, “Jangan dekatkan mereka kepada kalian padahal Allah telah menjauhkan mereka. Jangan muliakan mereka padahal Allah telah menghinakan mereka. Jangan percaya kepada mereka padahal Allah sudah menegaskan bahwa mereka suka khianat terhadap amanah.”

Khalifah Umar juga pernah mengatakan, “Janganlah kalian mempekerjakan ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) karena mereka menghalalkan suap. Untuk menyelesaikan urusan kalian dan urusan rakyat kalian manfaatkanlah orang-orang yang merasa takut kepada Allah.”
Dari Abu Dahqonah, ada yang berkata kepada Khalifah Umar, “Ada seorang budak laki-laki Nasrani dari daerah Hirah yang paling jago dalam tulis menulis dan terkenal sebagi seorang yang amanah. Berkenankah anda seandainya dia menjadi sekretaris anda?” Dengan tegas, Khalifah Umar menyatakan, “Jika demikian berarti aku telah menjadikan non muslim sebagai orang kepercayaanku.” (Riwayat Ibnu Abi Hatim dengan sanad yang shahih)

Ar Razi berkata, “Hal ini menunjukkan bahwa Umar menjadikan ayat ini sebagi dalil bahwa menjadikan orang Nasrani sebagi teman dekat adalah suatu yang terlarang.” (Tafsir ar Razi, 8/216)

Ibnu Katsir mengatakan, “Riwayat dari Khalifah Umar ditambah ayat di atas adalah dalil bahwa orang kafir dzimmi tidak boleh dipekerjakan sebagai juru tulis sehingga merasa lebih tinggi dari kaum muslimin dan mengetahui rahasia-rahasia umat sehingga dikhawatirkan akan disampaikan kepada musuh, orang kafir harbi.” (Tafsir Ibnu Katsir, 1/398)

Dalam al Iklil, Imam Suyuthi mengutip perkataan al Kaya Harasi, “Dalam ayat tersebut terdapat dalil bahwa meminta tolong dengan kafir dzimmi jika terkait dengan urusan kaum muslimin adalah suatu hal yang terlarang.” (Al Iklil hal. 72)

Penjelasannya sebagaimana yang dikatakan oleh al Qasyani, “Sesungguhnya bithonah seseorang adalah kekasih dan orang pilihannya yang mengetahui berbagai hal rahasia yang dia miliki. Sahabat semisal ini tidak mungkin kecuali setelah adanya kesamaan tujuan hidup, agama dan karakter dan bersahabat karena Allah bukan karena tendensi tertentu karena sahabat adalah satu jiwa dalam raga yang berbeda. Jika dua orang tersebut tidak seiman maka persahabatannya tentu akan segera berantakan.” (Tafsir Al Qasimi, 2/442)

Imam Qurthubi mengatakan, “Keadaan telah berubah total di masa kini. Yahudi dan Nasrani diangkat sebagai para juru tulis dan orang-orang kepercayaan. Hal tersebut bahkan menjadi kebanggaan bagi para penguasa yang kurang paham dengan agama.” Jika demikian keadaan di masa Imam Qurthubi lalu apa yang bisa katakan untuk masa kita saat ini.

عن أبي سعيد الخدري عن النبي صلى الله عليه و سلم قال «ما بعث الله من نبي ولا استخلف من خليفة إلا كانت له بطانتان بطانة تأمره بالمعروف وتحضه عليه وبطانة تأمره بالشر وتحضه عليه فالمعصوم من عصم الله تعالى»

Dari Abu Said al Khudri, Nabi bersabda, “Tidaklah Allah mengutus seorang Nabi atau mengangkat seorang khalifah melainkan pasti memiliki dua jenis orang dekat. Ada yang mengajak dan memotivasi untuk berbuat kebaikan. Sebaliknya yang kedua malah mengajak dan memotivasi untuk mengerjakan keburukan. Orang yang terjaga adalah orang yang benar-benar Allah jaga.” (HR. Bukhari dan Nasai)

Sungguh permusuhan dan sikap mendustakan telah benar-benar nampak pada mulut-mulut mereka. Dalam hal ini, Allah menyebutkan mulut untuk mengisyaratkan bahwa mereka pongah dalam kata-kata yang mereka lontarkan. Artinya mereka itu melebihi orang-orang yang menyembunyikan permusuhan sehingga permusuhan hanya nampak dalam sorot pandangan mata.

Tentang ayat ini, Qotadah mengatakan, “Ungkapan permusuhan telah nampak jelas melalui mulut orang-orang munafik ketika berada di hadapan orang-orang kafir yang sejalan dengan mereka. Mereka katakan bahwa mereka berhasil menipu Islam dan umat Islam serta menyampaikan ungkapan rasa benci terhadap orang-orang yang beriman.” Beliau juga mengatakan, “Yang mereka sembunyikan dalam dada-dada mereka itu lebih besar dibandingkan yang mereka nampakkan dengan lisan mereka.” (Riwayat Thabari dengan sanad yang hasan)

Ayat di atas juga menjadi dalil seorang musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkan kepada orang yang menjadi musuhnya. Inilah pendapat para ulama’ terdahulu yang berdomisili di Madinah dan Hijaz (Mekkah, Madinah dan sekitarnya) pada umumnya. Sedangkan Imam Abu Hanifah membolehkan hal tersebut sebagaimana dalam salah satu riwayat. Ibnu Bathal mengutip penyataan Ibnu Sya’ban, “Para ulama bersepakat bahwa musuh tidak boleh memberikan persaksian yang menyudutkannya kepada yang menjadi musuhnya dalam kasus apapun meski dia adalah seorang yang baik agamanya. Jadi permusuhan itu menghilangkan nilai kejujuran seseorang. Lalu bagaimana dengan permusuhan dengan orang kafir.” Pada akhir ayat Allah menegaskan bahwa rasa benci yang disembunyikan oleh orang-orang kafir itu jauh lebih besar lagi dibandingkan yang dinampakkan dengan mulut.


Aris Munandar, Ss., Mpi.
Pengajar Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, pengajar Pondok Pesantren Hamalatul Qur'an Yogyakarta, S1 UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, S2 Fiqih dan Ushul Fiqih Universitas Muhammadiyah Surakarta, pengasuh Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia (KPMI)


#AksiDamai411 Demo 4 November Teratas Jadi "Trending Topic ...

https://www.google.co.id/#q=aksi+damai+411
#AksiDamai411 Demo 4 November Teratas Jadi "Trending Topic ...

https://www.google.co.id/#q=aksi+damai+4+november

https://www.google.co.id/#q=live+aksi+damai+4+november


KLIK Pictures untuk LIVE Beritanya



Kamis, 03 November 2016

Pendaftaran Bakal Calon Pilkades






Pojok ... Hari  ini Rabu, 02 Nopember adalah akhir jadwal tahapan pendaftaran Bakal Calon Pilkades dalam Pemilihan Kepala Desa serentak di Kabupaten Blitar Tahun 2016 yang berjumlah 21 desa yang tersebar dibeberapa wilayah kecamatan.

Sesuai SK Bupati Nomor: 188/290/409.012/KPTS/2016 Tentang Penetapan Hari dan Tanggal Pemungutan Suara Serta Jadwal Tahapan Pelaksanaan Pemilihan Kepala Desa Serentak pada Tahun 2016, pendaftaran Bakal Calon Kades sudah diumumkan melalui media cetak maupun elektronik mulai tanggal, 25 Oktober 2016 dan akan berakhir tanggal 02 Nopember 2016 hari selasa hari ini.

Dalam perkembangannya panitia dalam memberikan informasi disambut antusias oleh peserta dengan banyaknya yang mengambil persyaratan administrasi bakal calon, sampai hari ini berita diturunkan Bakal Calon yang sudah menyerahkan berkas persyaratan administrasi sudah berjumlah sebanyak 3 Orang Bakal Calon, sementara kekurangan kelengkapan administrasi akan disusulkan kemudian dikarenakan kesulitan untuk memenuhinya, persyaratan kali ini memang membutuhkan waktu dan berhubungan erat dengan pejabat legalisasi persyaratan ditambah dengan cuaca yang belum bersahabat masih menjadi kendala utama. 

Dalam menyikapi kondisi ini Panitia mengambil kebijakan kelengkapan persyaratan administrasi tersebut bisa diperpanjang hingga tanggal, 10 Nopember 2016 namun pendaftaran tetap akan ditutup sesuai dengan jadwal tahapan.  

Berikut  Check List Persyaratan Pendaftaran Bakal Calon Kepala Desa:

https://drive.google.com/file/d/0B11EabTn-nCITGh0ZUhveklpcE0/view
Fail Download Check List


Apakah Anda Muslim yang Menjadikan Orang Kafir Sebagai Pemimpin





Bagi anda yang akrab dengan Al Qur'an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu'minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 10 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya. 

Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an, tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.

Makna auliya (أَوْلِيَاءَ) adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).

Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin
[Ayat ke-1]

لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)

Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat, orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath Thabari, 6825).

[Ayat ke-2]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim” (QS. Al Maidah: 51)

Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).

Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum dengan hasil pekerjaannya. Ia  berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus, bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan berkata: ‘pecat dia!’.

Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.  Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).

Jelas sekali bahwa ayat ini larangan menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.

[Ayat ke-3]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al Maidah: 57)

As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)
Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara
[Ayat ke-4]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang lalim” (QS. At Taubah: 23)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).
Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir
[Ayat ke-5]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).

Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu. Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah. Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada mereka hancur binasa.

Namun para sahabat memergoki wanita yang membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin.Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun 
memaafkannya dan memberinya udzur.
(lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir As Sa’di 7/854)

Berikut ini isi surat Hathib:

أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ
Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun, Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah (kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari, 7/520).

As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh Allah dan musuh kaliansebagai
 auliya, yang engkau berikan rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal), sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).

[Ayat ke-6]

وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا نَصِيرًا
Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An Nisa: 89)

As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir, karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan). Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).

Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya (namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
  1. Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
  2. Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
  3. Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik
[Ayat ke-7]

بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
Kabarkanlah kepada orang-orang munafik bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu? Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An Nisa: 139)

Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan) itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir Ibni Katsir, 2/435)
Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya
[Ayat ke-8]

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)

Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui. Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al Imran: 28).

Maksudnya Allah memperingatkan kalian terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah (alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir, 2/441).
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya
[Ayat ke-9]

وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
Sekiranya mereka beriman kepada Allah, kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS. Al Maidah: 81)

Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini: “Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat, serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).

Imam Mujahid  menafsirkan bahwa yang dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Semoga bermanfaat. Wabillahit taufiq.


Penulis : Yulian Purnama
Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Ilmu Komputer UGM, kontributor web PengusahaMuslim.Com 



Rabu, 02 November 2016

Ada yg santun profesional pintar kenapa pilih yg dzolim, arogan dan biasa ngomong kotor ?


FAKTA: SELURUH CAGUB-CAWAGUB MUSLIM: ANIES, SANDI, AGUS DAN SYLVI TERBUKTI SANGAT PINTAR, BERKUALITAS DAN BERPENDIDIKAN TINGGI!

Alhamdulillah, umat Islam dan warga Jakarta sangat bersyukur kepada Allah SWT karena kedua pasangan Cagub-Cawagub Muslim pada Pilkada DKI 2017 semuanya adalah umat Islam yang intelektualitasnya sangat tinggi, data dan fakta otentik telah berbicara:

Anies Baswedan Gelar Akademik: Ph.D (S3)
Sandiaga Uno: MBA (S2)
Agus Yudhoyono: M.Sc, MPA, MA (S2)
Sylviana Murni: Profesor Doktor (S3)

TERIMA KASIH YA ALLAH, Engkau telah memberi karunia hamba-hambamu yang sangat pintar, berkualitas dan berpendidikan tinggi seperti mereka berempat kepada kami warga Jakarta.

Sudah saatnya kota Jakarta diurus oleh sosok yang sangat pintar, berpendidikan tinggi, berkualitas, berakhlak, jujur, adil, berprestasi dan bersih dari korupsi seperti pasangan Anies-Sandi dan Agus-Sylvi untuk Jakarta Berkah, Bersih dan Beradab!