Bagi anda yang akrab dengan Al Qur'an, tentu sering mendapati ayat-ayat
yang melarang kaum mu'minin menjadikan orang kafir sebagai auliya pada ayat
yang sangat banyak. Setidaknya ada 10 ayat yang akan kita nukil di sini yang
melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.
Bagi anda yang akrab dengan Al Qur’an,
tentu sering mendapati ayat-ayat yang melarang kaum mu’minin menjadikan orang
kafir sebagai auliya pada ayat yang sangat banyak. Setidaknya ada 9 ayat
yang akan kita nukil di sini yang melarang menjadikan orang kafir sebagai auliya.
Makna auliya (أَوْلِيَاءَ)
adalah walijah (وَلِيجةُ) yang maknanya: “orang kepercayaan, yang
khusus dan dekat” (lihat Lisaanul ‘Arab). Auliya dalam
bentuk jamak dari wali (ولي) yaitu orang yang lebih dicenderungi untuk
diberikan pertolongan, rasa sayang dan dukungan (Aysar At Tafasir, 305).
Jangan Jadikan Orang Kafir Sebagai Orang Kepercayaan Dan Pemimpin
[Ayat ke-1]
لَا يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ
الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ
فَلَيْسَ مِنَ اللَّهِ فِي شَيْءٍ إِلَّا أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً
وَيُحَذِّرُكُمُ اللَّهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللَّهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin mengambil
orang-orang kafir menjadi auliya dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang
siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah kecuali
karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan
Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya. Dan hanya kepada Allah
kembali (mu)” (QS. Al Imran: 28)
Ibnu Abbas radhiallahu’anhu menjelaskan
makna ayat ini: “Allah Subhanahu Wa Ta’ala melarang kaum
mu’minin untuk menjadikan orang kafir sebagai walijah (orang dekat,
orang kepercayaan) padahal ada orang mu’min. Kecuali jika orang-orang kafir menguasai mereka, sehingga kaum mu’minin
menampakkan kebaikan pada mereka dengan tetap menyelisihi mereka dalam masalah
agama. Inilah mengapa Allah Ta’ala berfirman: ‘kecuali karena (siasat)
memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka‘” (Tafsir Ath
Thabari, 6825).
[Ayat ke-2]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ
بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا
يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi auliya bagimu; sebahagian
mereka adalah auliya bagi sebahagian yang lain. Barang siapa di antara kamu
mengambil mereka menjadi auliya, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan
mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang
lalim” (QS. Al Maidah: 51)
Ibnu Katsir menjelaskan ayat ini: “Allah
Ta’ala melarang hamba-Nya yang beriman untuk loyal kepada orang Yahudi dan
Nasrani. Mereka itu musuh Islam dan sekutu-sekutunya. Semoga Allah memerangi
mereka. Lalu Allah mengabarkan bahwa mereka itu adalah auliya terhadap
sesamanya. Kemudian Allah mengancam dan memperingatkan bagi orang mu’min yang
melanggar larangan ini Barang siapa di antara kamu mengambil mereka
menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim“”
(Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Lalu Ibnu Katsir menukil sebuah riwayat
dari Umar bin Khathab, “Bahwasanya Umar bin Khathab memerintahkan Abu Musa Al
Asy’ari bahwa pencatatan pengeluaran dan pemasukan pemerintah dilakukan oleh
satu orang. Abu Musa memiliki seorang juru tulis yang beragama Nasrani. Abu
Musa pun mengangkatnya untuk mengerjakan tugas tadi. Umar bin Khathab pun kagum
dengan hasil pekerjaannya. Ia berkata: ‘Hasil kerja orang ini bagus,
bisakah orang ini didatangkan dari Syam untuk membacakan laporan-laporan di
depan kami?’. Abu Musa menjawab: ‘Ia tidak bisa masuk ke tanah Haram’. Umar
bertanya: ‘Kenapa? Apa karena ia junub?’. Abu Musa menjawab: ‘bukan, karena ia
seorang Nasrani’. Umar pun menegurku dengan keras dan memukul pahaku dan
berkata: ‘pecat dia!’.
Umar lalu membacakan ayat: ‘Hai orang-orang
yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin (mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barang siapa di antara kamu mengambil
mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang lalim‘” (Tafsir Ibni Katsir, 3/132).
Jelas sekali bahwa ayat ini larangan
menjadikan orang kafir sebagai pemimpin atau orang yang memegang posisi-posisi
strategis yang bersangkutan dengan kepentingan kaum muslimin.
[Ayat ke-3]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا الَّذِينَ اتَّخَذُوا دِينَكُمْ هُزُوًا وَلَعِبًا مِنَ الَّذِينَ
أُوتُوا الْكِتَابَ مِنْ قَبْلِكُمْ وَالْكُفَّارَ أَوْلِيَاءَ وَاتَّقُوا اللَّهَ
إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil jadi auliya bagimu, orang-orang yang membuat agamamu jadi buah
ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi Kitab
sebelummu, dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah
kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (QS. Al
Maidah: 57)
As Sa’di menjelaskan: “Allah melarang
hamba-Nya yang beriman untuk menjadikan ahlul kitab yaitu Yahudi dan Nasrani
dan juga orang kafir lainnya sebagai auliya yang dicintai dan
yang diserahkan loyalitas padanya. Juga larangan memaparkan kepada mereka
rahasia-rahasia kaum mu’minin juga larangan meminta tolong pada mereka pada
sebagian urusan yang bisa membahayakan kaum muslimin. Ayat ini juga menunjukkan
bahwa jika pada diri seseorang itu masih ada iman, maka konsekuensinya ia wajib
meninggalkan loyalitas kepada orang kafir. Dan menghasung mereka untuk memerangi
orang kafir” (Tafsir As Sa’di, 236)
Jangan Loyal Kepada Orang Kafir Walaupun Ia Sanak Saudara
[Ayat ke-4]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا آبَاءَكُمْ وَإِخْوَانَكُمْ أَوْلِيَاءَ إِنِ اسْتَحَبُّوا
الْكُفْرَ عَلَى الْإِيمَانِ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَأُولَئِكَ هُمُ
الظَّالِمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu jadikan bapak-bapak dan saudara-saudaramu menjadi auliya bagimu, jika
mereka lebih mengutamakan kekafiran atas keimanan dan siapa di antara kamu yang
menjadikan mereka auliya bagimu, maka mereka itulah orang-orang yang
lalim” (QS. At Taubah: 23)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala
memerintahkan untuk secara menjelaskan terang-terangan kepada orang kafir bahwa
mereka itu kafir walaupun mereka adalah bapak-bapak atau anak-anak dari orang
mu’min. Allah juga melarang untuk loyal kepada mereka jika mereka lebih memilih
kekafiran daripada iman. Allah juga mengancam orang yang loyal kepada
mereka” (Tafsir Ibni Katsir, 4/121).
Jangan Berikan Rasa Sayang dan Kasihan Kepada Orang Kafir
[Ayat ke-5]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ
بِالْمَوَدَّةِ وَقَدْ كَفَرُوا بِمَا جَاءَكُمْ مِنَ الْحَقِّ يُخْرِجُونَ
الرَّسُولَ وَإِيَّاكُمْ أَنْ تُؤْمِنُوا بِاللَّهِ رَبِّكُمْ إِنْ كُنْتُمْ
خَرَجْتُمْ جِهَادًا فِي سَبِيلِي وَابْتِغَاءَ مَرْضَاتِي
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi auliya yang kamu sampaikan kepada
mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya
mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir
Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu
benar-benar keluar untuk berjihad pada jalan-Ku dan mencari keridaan-Ku
(janganlah kamu berbuat demikian)” (QS. Al Mumtahanah: 1).
Para ulama ahli tafsir menjelaskan bahwa
sebab turunnya ayat ini adalah kisah Hathib bin Abi Baltha’ah radhiallahu’anhu.
Beliau adalah sahabat Nabi yang ikut hijrah, beliau juga mengikuti perang
Badar, namun beliau memiliki anak-anak, sanak kerabat dan harta di kota Mekkah
yang ia tinggalkan untuk berhijrah. Ketika Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam diperintahkan untuk membuka kota Mekkah dan memerangi orang
Musyrikin di sana, Hathib merasa kasihan kepada orang-orang Quraisy di Mekkah.
Hathib pun berinisiatif untuk berkomunikasi dengan kaum Quraisy secara
diam-diam melalui surat yang dikirimkan melalui seorang wanita. Hathib mengabarkan
kedatangan pasukan kaum Muslimin untuk menyerang kaum Quraisy di Mekkah. Bukan
karena Hathib berkhianat dan bukan karena ia munafik, namun ia kasihan kepada
kaum Quraisy dan berharap mereka mau dirangkul untuk memeluk Islam daripada
mereka hancur binasa.
Namun para sahabat memergoki wanita yang
membawa surat dan melaporkan hal ini kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam. Lalu turunlah ayat ini sebagai teguran untuk tidak kasihan
dan tidak menaruh rasa sayang kepada orang-orang kafir, apalagi dengan
menyampaikan kepada mereka kabar-kabar rahasia kaum Muslimin.Namun Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam menegur Hathib namun
memaafkannya dan memberinya udzur.
(lihat Tafsir Ibni Katsir 8/82, Tafsir
As Sa’di 7/854)
Berikut ini isi surat Hathib:
أَمَّا بَعْدُ يَا مَعْشَرَ
قُرَيْشٍ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ جَاءَكُمْ
بِجَيْشٍ كَاللَّيْلِ يَسِيرُ كَالسَّيْلِ فَوَاللَّهِ لَوْ جَاءَكُمْ وَحْدَهُ
لَنَصَرَهُ اللَّهُ وَأَنْجَزَ لَهُ وَعْدَهُ فَانْظُرُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَالسَّلَامُ
“Amma ba’du. Wahai kaum Quraisy,
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam sedang
mendatangi kalian dengan membawa pasukan yang bak gelapnya malam, yang cepat
bagaikan air bah. Demi Allah, andaikan Ia (Rasulullah) datang seorang diri pun,
Allah akan menolongnya dan memenangkannya atas musuhnya. Maka lihatlah
(kasihanilah) diri-diri kalian. Wassalam” (Fathul Baari,
7/520).
As Sa’di menjelaskan: “jangan jadikan musuh
Allah dan musuh kaliansebagai
auliya, yang engkau berikan
rasa sayangmu kepada mereka. Maksudnya jangan kalian terburu-buru memberikan
rasa sayangmu kepada mereka ataupun menempuh sebab-sebab yang membuat kalian
sayang pada mereka. Karena rasa sayang itu jika muncul akan diikuti oleh
nushrah (kecenderungan untuk menolong) dan muwalah (kecenderungan untuk loyal),
sehingga akhirnya seseorang pun keluar dari keimanan dan menjadi bagian dari
orang-orang kafir meninggalkan ahlul iman” (Tafsir As Sa’di, 854).
[Ayat ke-6]
وَدُّوا لَوْ
تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً فَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ أَوْلِيَاءَ
حَتَّى يُهَاجِرُوا فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَخُذُوهُمْ
وَاقْتُلُوهُمْ حَيْثُ وَجَدْتُمُوهُمْ وَلَا تَتَّخِذُوا مِنْهُمْ وَلِيًّا وَلَا
نَصِيرًا
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir
sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka).
Maka janganlah kamu jadikan di antara mereka sebagai auliya bagimu, hingga
mereka berhijrah pada jalan Allah. Maka jika mereka berpaling, tawan dan
bunuhlah mereka di mana saja kamu menemuinya, dan janganlah kamu ambil seorang
pun di antara mereka auliya, dan jangan (pula) menjadi penolong” (QS. An
Nisa: 89)
As Sa’di menjelaskan ayat ini dengan
berkata: “ini melazimkan tidak adanya kecintaan terhadap orang kafir,
karena wilayah (loyalitas) adalah cabang dari mahabbah (kecintaan).
Ini juga melazimkan kita untuk membenci dan memusuhi mereka. Karena larangan
terhadap sesuatu berarti perintah untuk melakukan kebalikannya. Dan perlakukan
tidak berlaku jika mereka ikut hijrah. Jika mereka ikut hijrah, maka mereka
diperlakukan sebagaimana kaum muslimin. Sebagaimana Nabi Shallallahu’alaihi
Wasallam memperlakukan orang-orang yang ikut hijrah bersama beliau
sebagaimana perlakuan beliau terhadap orang Islam. Baik mereka yang benar-benar
mu’min lahir batin, maupun yang hanya menampakan keimanan secara zhahir. Dan
jika mereka berpaling atau tidak mau berhijrah, ‘tawan dan bunuhlah mereka
di mana saja kamu menemuinya‘, maksudnya kapan pun dan dimana pun kau
menemui mereka”. (Tafsir As Sa’di, 1/191).
Namun As Sa’di menjelaskan 3 jenis orang
kafir yang dikecualikan sehingga tidak diperangi berdasarkan ayat selanjutnya
(namun tidak kita bahas panjang lebar di sini), mereka adalah:
- Orang-orang kafir yang meminta perlindungan kepada sesuatu kaum, yang antara kamu dan kaum itu telah ada perjanjian damai untuk tidak saling memerangi
- Orang-orang kafir yang tidak ingin untuk memerangi kaum Muslimin dan juga tidak memerangi kaumnya, ia memilih untuk tidak memerangi kaum Muslimin maupun kaum kafirin.
- Orang-orang munafik yang menampakkan keimanan karena takut diperangi oleh kaum Muslimin (Tafsir As Sa’di, 191).
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Sifat Orang Munafik
[Ayat ke-7]
بَشِّرِ الْمُنَافِقِينَ
بِأَنَّ لَهُمْ عَذَابًا أَلِيمًا الَّذِينَ يَتَّخِذُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ
مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَيَبْتَغُونَ عِنْدَهُمُ الْعِزَّةَ فَإِنَّ
الْعِزَّةَ لِلَّهِ جَمِيعًا
“Kabarkanlah kepada orang-orang munafik
bahwa mereka akan mendapat siksaan yang pedih (yaitu) orang-orang yang
mengambil orang-orang kafir menjadi teman-teman penolong dengan meninggalkan
orang-orang mukmin. Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang kafir itu?
Maka sesungguhnya semua kekuatan kepunyaan Allah” (QS. An Nisa: 139)
Ibnu Katsir berkata: “Lalu Allah Ta’ala
menyemat sebuah sifat kepada orang-orang munafik yaitu lebih memilih menjadikan
orang kafir sebagai auliyaa daripada orang mu’min. Artinya, pada hakikat
orang-orang munafik itu pro terhadap orang kafir, mereka diam-diam loyal dan
cinta kepada orang kafir. Ketika tidak ada orang mu’min, orang munafik berkata
kepada orang kafir: ‘Sesungguhnya kami sependirian dengan kamu, kami hanyalah
main-main’. Yaitu ketika orang munafik menampakkan seolah setuju terhadap
orang mu’min. Maka Allah pun membantah sikap mereka terhadap orang kafir yang
demikian itu dalam firman-Nya: ‘Apakah mereka mencari kekuatan di sisi orang
kafir?‘. Lalu Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sesungguhnya izzah (kekuatan)
itu semuanya milik Allah semata, tidak ada yang bersekutu dengan-Nya, dan juga
milik orang-orang yang Allah takdir kepadanya untuk memiliki kekuatan” (Tafsir
Ibni Katsir, 2/435)
Siksaan Pedih Karena Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya
[Ayat ke-8]
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا
لَا تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ
أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah
kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?” (QS. An Nisa: 144)
Ibnu Katsir menjelaskan: “Allah Ta’ala melarang
hamba-Nya dari kaum mu’minin untuk menjadikan orang-orang kafir sebagai auliya
padahal ada orang mu’min. Maksudnya Allah melarang kaum mu’minin bersahabat dan
berteman dekat serta menyimpan rasa cinta kepada mereka. Juga melarang
mengungkapkan keadaan-keadaan kaum mu’minin yang tidak mereka ketahui.
Sebagaimana firman Allah Ta’ala berfirman: ‘Janganlah orang-orang mukmin
mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang
mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan
Allah kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari
mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa) Nya‘ (QS. Al
Imran: 28).
Maksudnya Allah memperingatkan kalian
terhadap siksaan-Nya bagi orang yang melanggar larangan ini. Oleh karena itu Ia
berfirman: ‘Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk
menyiksamu)?‘. Maksudnya perbuatan tersebut akan menjadi hujjah
(alasan) untuk menjatuhkan hukuman atas kalian” (Tafsir Ibni Katsir,
2/441).
Menjadikan Orang Kafir Sebagai Auliya, Dipertanyakan Imannya
[Ayat ke-9]
وَلَوْ كَانُوا يُؤْمِنُونَ
بِاللَّهِ وَالنَّبِيِّ وَمَا أُنْزِلَ إِلَيْهِ مَا اتَّخَذُوهُمْ أَوْلِيَاءَ
وَلَكِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ فَاسِقُونَ
“Sekiranya mereka beriman kepada Allah,
kepada Nabi (Musa) dan kepada apa yang diturunkan kepadanya (Nabi), niscaya
mereka tidak akan mengambil orang-orang musyrikin itu menjadi
penolong-penolong, tapi kebanyakan dari mereka adalah orang-orang yang fasik” (QS.
Al Maidah: 81)
Ath Thahawi menjelaskan makna ayat ini:
“Andaikan sebagian orang dari Bani Israil yang loyal terhadap orang kafir itu
mereka benar-benar mengimani Allah dan mentauhidkan-Nya, juga benar-benar
mengimani Nabi-Nya Shallallahu’alaihi Wasallam sebagai Rasul yang diutus
oleh Allah, serta lebih mempercayai apa yang ia bawa dari Allah daripada
petunjuk yang lain, maka mereka tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai
teman dekat dan penolong padahal ada orang-orang Mu’min. Namun dasarnya mereka
itu adalah orang-orang yang gemar membangkang perintah Allah menujuk maksiat,
serta gemar menganggap halal apa yang Allah haramkan dengan lisan dan perbuatan
mereka” (Tafsir Ath Thabari, 10/498).
Imam Mujahid menafsirkan bahwa yang
dimaksud oleh ayat ini adalah kaum munafik (Tafsir Ath Thabari,
10/498).
Semoga bermanfaat. Wabillahit
taufiq.
Penulis : Yulian Purnama
Alumni Ma'had Al Ilmi Yogyakarta, S1 Ilmu
Komputer UGM, kontributor web PengusahaMuslim.Com